Ibarat Kupu-Kupu, Bermetamorfosis (Menuju) Sempurna

Aku mengenakan jilbab sejak duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Sebenarnya bukanlah suatu keharusan untuk mengenakan jilbab waktu itu. Namun sebuah cerita menuntun langkahku hingga harus berlabuh pada pilihan ini.

Suatu ketika rambutku gatal. Padahal, aku rajin keramas. Mungkin hal ini disebabkan polusi udara saat itu. Musim kering yang berdebu.

Salah seorang temanku mengatakan, “Kalau ada rambut tebal yang gatal, dicabut aja!”

Ini efek anak-anak yang sering melihat para Ibu melakukan cabut rambut tebal dan uban. Aku yang saat itu masih belum mengerti apa-apa, menurut saja. Mau cepat hilang gatalnya tanpa berpikir dampak baik-buruknya.

Alhasil, terciptalah sebuah lapangan tak berumput alias botak di beberapa bagian kepala. Mama sangat kaget ketika melihat kelakuanku ini.

“Rambut Nia jadi jelek. Seperti orang kena tifus,” begitu komentar salah seorang guru.

Mama kasihan melihatku. Beliau lantas menganjurkan untuk mengenakan jilbab mini.

Ketika Jilbab Mini Harus Kukenakan


Aku pun mulai membiasakan hari-hariku dengan jilbab mini. Aku juga mengganti seragam putih merahku dengan lengan panjang dan rok.

Pihak sekolah memberikan kebebasan. Sejak kelas lima hingga akhir masa SD aku mengenakan busana ini.

Berawal dari Keterpaksaan Berubah Menjadi Kebiasaan


bagaimana agar istikamah berjilbab


Saat SMP, siswi muslimah diwajibkan memakai jilbab. Tentu aku tidak merasa keberatan dengan kebijakan ini. Hari-hariku bersama jilbab semakin intens. Kali ini sudah tidak mini lagi. Standarlah untuk ukuran siswa SMP. Jilbab segi empat yang dibuat jadi segitiga. Setelah diberi peniti di bawah dagu, sisi kanan dan kiri disatukan dengan pin atau bros.

Wanita Berjilbab Belum Tentu Baik, tapi Wanita Baik Tentu Berjilbab


Menginjak SMA, aku bergabung dengan kerohanian islam sekolah. Kakak pementor memberikan motivasi untuk mulai mengenakan jilbab lebar seperti yang dikenakannya. Kata beliau, jilbab adalah pakaian takwa.

“Kewajiban setiap muslimah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi,” kata beliau.

Aku mulai merenungi kata-kata kakak pementor. Haruskah aku mengenakannya sekarang? Jujur, di masa SMA-ku, tahun 2009, memakai jilbab selain ke sekolah, masih dianggap aneh. Setidaknya itu yang kurasakan.

Akhirnya aku menemukan jawaban. Tak mudah memang. Syukurlah, beberapa teman yang ikut mentoring mengikuti kata-kata kakak pementor. Aku mencoba meneguhkan hati. Mengenakan pakaian takwa. Mulanya agak panas. Namun lama kelamaan menjadi terbiasa.

Untuk Naik Kelas Kita Harus Melalui Ujian


Setamat SMA, aku kuliah di sebuah akademi kebidanan. Awal masuk asrama, setiap mahasiswi muslimah diwajibkan berjilbab. Namun untuk tahun kedua dan seterusnya kami boleh memilih. Banyak teman yang melepas jilbab.

“Kamu nggak lepas jilbab?” tanya salah seorang teman.

“Kalo kamu mau pake jangan setengah-setengah. Nanti gara-gara kamu kami ikutan disuruh pake jilbab lagi!” cetus teman yang lain.

Beberapa teman memandang sinis ke arahku.

Aku masih ingat. Kala itu kami ada jadwal keluar asrama setiap hari Minggu. Aku ingin pergi ke toko buku. Karena tak ada teman yang bersedia diajak, aku pun memutuskan pergi seorang diri.

“Kamu mau pergi ke acara pengajian, ya?” tanya salah seorang teman.

Jujur, hatiku agak tersinggung waktu itu. Namun aku bersabar dan mengulas senyum seperti biasa.

Aku mencoba berpikiran positif. Style berpakaianku saat itu--jilbab lebar, gamis, kaos kaki--mungkin bisa membuat orang berasumsi begitu.

Temanmu Menunjukkan Siapa Dirimu


Permisalan teman yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Aku berusaha istikamah. Tentunya dengan terus berdoa semoga azamku kian kuat.

Empat orang teman akhirnya mengikuti jejakku. Pada waktu pemilihan pengurus mentoring, aku dan keempat teman yang mengenakan jilbab, diamanahi tugas mulia, bertanggung jawab menghubungi kakak pengisi mentoring setiap Jumat malam.


Hijab yang Nyaman di Hati : Jilbab Syar’i yang Melindungi


Pernah pada suatu ketika aku salah naik angkutan kota. Hari sudah menjelang isya. Untuk memutar arah, aku harus naik kendaraan lain. Jalanan cukup sepi. Sambil terus berdoa, aku mencari penerangan yang cukup. Syukurlah, kira-kira setengah jam kemudian aku mendapatkan angkutan yang tepat.

Aku agak panik, tapi tak ada pilihan lain. Jam semakin merangkak naik. Langit semakin pekat. Udara malam menusuk tajam.

Tak ada penumpang lain di dalam angkutan itu. Aku memilih duduk di sisi dekat pintu. Dalam hati terus menerus berharap yang terbaik pada Sang Khalik. Juga mohon ampun atas segala khilaf.

Doaku terjawab. Pak Sopir yang berwajah kurang bersahabat ternyata begitu hangat. Aku menemaninya bercerita sepanjang jalan. Tentang anak dan istrinya yang jauh di kampung halaman.

Begitu sampai di rumah kost-an aku mengucap syukur atas keselamatan ini. Alhamdulillah.

Dengan mengenakan jilbab syar'i ini aku merasa terjaga. Benar-benar terjaga.

Hijab yang Nyaman di Hatiku


Jilbab yang menutupi dada, adem, warna lembut dan mudah diatur. Kadang juga suka pakai jilbab katun paris dan di-doubel dua warna. Jilbab yang bagian bawah warnanya lebih gelap. Supaya lebih rapi, aku suka pakai daleman topi warna hitam.

Baju gamis/baju terusan dan rok dengan warna tak terlalu terang. Aku lebih suka warna seperti ini agar ketika dipakai berwudu, cipratan air tak terlalu kentara. Bila ujung lengan baju terlalu kendur, aku suka pakai kaos lengan.

Rihlah Masih Amat Sangat Panjang, Saudari


Tak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi selalu ada jalan untuk menuju sempurna.

Ada yang berpendapat jilbabkan hati kemudian jilbabkan kepala. Namun aku ingin katakan, “Mengapa tidak berbarengan?”

Jilbabkan kepala sambil terus berusaha memperbaiki hati. Keduanya bisa dilakukan bersamaan tanpa harus menunggu satu dikerjakan lebih dahulu.

Kita tak akan pernah mengetahui kapan masa kita berakhir di dunia ini. Kita tak akan pernah bisa memastikan kapan jilbab hati terbentuk hingga kita siap mengenakan jilbab kepala. Yang perlu kita lakukan adalah terus-menerus memperbaiki diri selagi ada kesempatan

Karena aku sayang padamu, Saudariku.

Untuk yang sedang menempuh rihlah panjang (termasuk diriku) : Semoga Allah SWT senantiasa menetapkan hati kita pada jalanNya. Aamiin.

Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala diinik

Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu

(H.R. Tirmidzi dan Ahmad Hakim)

Salam ukhuwah. Mari bersama meraih ridhoNya! Sungguh, surga itu terlalu luas untuk dimasuki seorang diri. (*)
Karunia Sylviany Sambas
Karunia Sylviany Sambas Saya adalah seorang tenaga kesehatan yang suka menulis, membaca dan mempelajari hal-hal baru. Alamat surel: karuniasylvianysambas@gmail.com Selain di sini, saya juga menulis di Rekam Jejak Sang Pemimpi, Ketika Jejakku Menginspirasimu, Berlayar & Menambatkan Impian, Meniti Jembatan Impian, Jejak Inspirasi Sylviany, Cakrawala Baca Sylvia

Posting Komentar untuk "Ibarat Kupu-Kupu, Bermetamorfosis (Menuju) Sempurna"