Surat untuk Sahabat, Ungkapan Hati Seorang Perajut Benang Mimpi

Surat untuk Sahabat, Ungkapan Hati Seorang Perajut Benang Mimpi

Buat sahabat yang terkadang menganggap diriku telah berubah. Apa kabar? Semoga masih ada nyala yang sama di dada. Cahaya yang terus bersinar, menandai persahabatan dimulai sembari menjalani hari-hari. 

Adakah kemarahan yang masih melekat di dada? Adakah kesal karena suatu hal yang menjadi sebuah ganjal? 

Hari ini, Jumat, 04 Maret 2022, kutuliskan sebuah surat untukmu sahabat. Kuharap kelak surat ini akan sampai padamu. Hingga ia dapat menyampaikan makna terdalam dari hati. Yang selama ini mungkin terselip oleh keegoan sehingga maya terlihat.

Karena engkau sahabatku. Surat ini dimulai darimu dan aku harap berakhir pada sepasang hati yang pernah lekat di satu waktu indah itu. 

Lantas, izinkan aku mengutarakan sebab musabab silaturahmi yang belum bisa tersampaikan sepenuh raga hingga detik ini, sahabatku. Setidaknya berikut ini alasan yang menjadi penghalang terbesar ketidakmampuanku itu.

surat untuk sahabat

Silaturahmiku serba terbatas saat ini, sebab ...

Langkah belum leluasa karena tergantung kendaraan yang ada

Dengan jujur kukatakan bahwa lutut masih belum mantap menopang kaki di atas sepeda motor hingga artikel ini kutuliskan, sahabat. Engkau bisa menduga, bukan? Di zaman ini bisa mengendarai sepeda motor bisa jadi dianggap sangat memudahkan jejak. Tak salah memang. Sepeda motor diibaratkan kaki yang dengan bantuannya seseorang bisa menjangkau jarak, merapatkan jejak.

Untuk satu bulan saja aku harus mengeluarkan biaya perjalanan kerja sekitar tujuh ratus ribu rupiah, belum lagi jika ada satu hal lain yang harus dikerjakan di luar jadwal kerja. Bagaimana dengan makan, minum dan camilan? Nah, ini juga jadi tambahan biaya. Jadi, untuk silaturahmi secara fisik, aku seperti kehilangan energi. Maafkan aku, sahabat.

Apa daya, lelahku yang serasa menyita

Bekerja dalam rotasi pagi, sore dan malam hari bukan hal yang mudah ternyata. Setidaknya, sampai detik ini aku masih terus mencoba berdamai dengan keadaan. Terus mencoba memupuk ikhlas dan tak henti memberi semangat pada diri. Toh, aku sendiri harus kuat karena menghadapi orang yang sakit harus bisa menularkan manfaat, bukan sebaliknya. 

Setelah melewati dinas malam selama dua hari, aku akan membalasnya dengan tidur selama beberapa jam, tentu saja setelah membersihkan diri dan makan pagi di siang hari. Setelah tidur, energiku masih harus kuberikan pada cucian kotor yang beberapa hari memanggil, tetapi belum bisa kupenuhi permintaannya. 

Setelah sederet aktivitas itu, ya jelas, lelah lagi. Karena dua hari setelah itu aku akan kembali memulai dinas pagi, lanjut sore dan malam lagi. Kuat, ya, diri. Tentang kisah ini, tentang mengapa aku bisa sampai di fase ini, semoga dapat kuceritakan satu waktu nanti. Tunggu, ya.

Ingatanku mulai melemah, bolehkah kutukar silaturahmi kita dengan peran kecanggihan teknologi?

Sekarang sudah ada peran teknologi yang menyentuh semua sisi. Kehadiran fisik yang serba terbatas ini semoga bisa tergantikan dengan pesan singkat dari gawai, ya. Aku memantau statusmu dan memberikan tanggapan. Kadang berupa emoticon, kadang pula berupa respons. Ketika aku merindukanmu, status yang ada di media sosialmu bisa menjadi alasanku untuk memulai pembicaraan, kan?

Sebab, sudah pernah kucoba satu waktu menghubungi seorang teman tanpa sebab. Pembicaraan jadi terkesan nggak menyenangkan dan malah bisa berujung ketidakenakan. Ada obrolan yang seharusnya jadi silaturahmi malah berubah menjadi menghakimi. Ah, maafkan aku jika ternyata aku yang mengarahkan pembicraan itu terjadi, ya. Atau mungkin karena kau yang memulai? Ah, sudahlah. Sudah berlalu, kan?

Penutup


Kita tak dapat bersua dan menceritakan banyak hal secara fisik. Namun, masih banyak perantara yang dapat mendekatkan kita. Semangat, ya! Untukmu pun untukku. Surat ini adalah upaya hati yang rapuh untuk terus bertumbuh. Kuat dan hebat, duhai sahabat!

#14DaysBlogspediaChallenge

Posting Komentar